Zooxanthellae merupakan algae yang bersimbiosis dengan hewan karang sekaligus memberi warna pada karang sehingga tampak bewarna. Sejak
berabad-abad lalu dan bahkan hingga saat ini, karang (Scleractinia)
dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya mereka merupakan
hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok Coelenterata berbentuk
polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi
oleh tentakel.
Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya (species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampu-annya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya.
Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya (species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampu-annya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya.
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya
proses simbiosis dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang
dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni
apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai
dilepaskan oleh induknya atau melalui infeksi dari lepasan planula yang keluar
tanpa pembekalan (Veron, 1995). Apabila teori pertama yang terjadi maka
bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian
secara turun temurun mengalami proses pembekalan sebagaimana teori pertama
diterima kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih
ditekankan bahwa pada kenyataannya terdapat endosimbiosis dengan perannya yang
besar dalam mekanisme kehidupan fungsional binatang karang.
Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara
zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu
kejadian yang diawali oleh adanya bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan
peluang yang tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat
planktonik. Bertemunya keduanya merupakan mendapat peluang yang besar oleh
adanya kondisi dinamik air laut. Oleh Perez (1982) dikemukakan bahwa
proses recognisi dan pada akhirnya relokasi zooxanthellae pada karang merupakan
fenomena respon biotik sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air laut
dan proses interkoneksitas kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya
sangat dimungkinkan terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut.
Pada kebanyakan karang, relokasi zooxanthellae umumnya
terdapat pada jaringan mesoglea dan gastrodermis baik di tentakel maupun
mesentrinya. (Veron, 1995). Untuk menempuh ini diperlukan tahapan-tahapan
endosimbiosis. Tahapan endosimbiosis tersebut oleh Lenhoff dan Muscatine (1974)
diterangkan melalui 4 mekanisme, yaitu :
1. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa infeksi
zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan
planula, namun tahap ini diperlukan pada setiap perkembangan dari binatang
karang. Proses ini merupakan proses yang transport yang tidak saja mencakup
proses fisik akan tetapi juga biokomiawi.
2. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu
algae selular ke dalam jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami
tahap pengenalan dengan kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan
kapasitas dari binatang karang.
3. Relokasi intraselluler dari simbiont, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton dari binatang karang.
Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan oleh fluktuasi pH
seluler.
4. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan berlangsung dengan
bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu (khususnya faktor
limiting) pertumbuhan. Bleaching merupakan salah satu fenomena
regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang.
Terapan fungsional simbiosis pertama-tama dapat ditinjau
dari kaitannya dengan transfer nutrisi diantara keduanya. Dalam memenuhi
nutrisinya semua karang dapat menggunakan tentakel-nya untuk menangkap mangsa
(plankton). Proses penangkapannya memper-gunakan bantuan nematocyte suatu
bentuk protein spesifik yang mampu kemampuan proteksi dan melumpuhkan biomassa
tertentu seperti zooplankton. Meskipun mempunyai kemampuan feeding
active, akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar makanan karang
berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae ini
merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik hidup dalam berbagai
jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung dari
cahaya matahari melalui fotosintesis.
Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah yang besar dalam
setiap polyp hidup bersimbiosis dan memberikan warna pada polyp, energi dari
fotosintesis dan 90% kebutuhan karbon polyp (Sebens, 1997). Zooxanthellae
menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang (polyp) dan memberikan sebanyak
95% hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada polyp (Muscatine, 1990).
Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup
bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat
dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi
pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al.,
2002).
Berdasarkan transfer nutrisi ini maka dapat dinyatakan bahwa
karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui feeding active dan feeding
passive. Feeding active dilakukan dengan menembakkan
nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di
bagian atas; sedangkan feeding passive diperoleh melalui
transfer hasil fotosintesis zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang
dapat melakukan melalui feeding passive.
Karang mempunyai bentuk rangka untuk menyokong badannya yang
sederhana. Karang pembentuk terumbu mempunyai kerangka dari kalsium karbonat
yang proses pembentukannya memerlukan waktu lama sebagai hasil dari
simbiosisnya dengan zooxanthellae (Goreou, 1961 dalam Lenhoff
dan Muscatine, 1974). Karang ini kebanyakan dari kelompok schleractinia yang
dikenal sebagai hermatipik atau pembentuk terumbu.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
simbiosis mempunyai peran penting dalam proses kehidupan karang. Adanya simbiosis, maka secara
phototropikal dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode
tertentu. Apabila dikaitkan dengan konsep spesiasi binatang karang (Veron,
1995), maka peran aktif simbiosis zooxanthellae dalam jaringan karang dan
biogeografinya bahwa bersama dengan faktor lingkungan dapat dinyatakan sebagai
penggerak dalam proses microevolusi dalam kehidupan karang. Ini dapat dipandang
dalam beberapa skala :
1. Dalam skala ekologi : bahwa cahaya bertanggung jawab atas
pembatasan kedalaman untuk semua karang dan terumbu karang sehingga secara
prinsipil cahaya merupakan parameter lingkungan yang dapat mengendalikan
morfologi serta hubungan intra spesifik yang pada gilirannya dapat menentukan
diversitas species;
2. Dalam skala geografis : bahwa ketergantungannya terhadap
simbiosis menjadikan karang dengan mudah tumbuh melampaui makroalgae; faktor
inilah yang kemungkinan besar menyebabkan terhalangnya karang/terumbu karang
dari pengaruh faktor-faktor fisika lingkungan di lintang tinggi.
3. Dalam skala geologi : bahwa gangguan terhadap simbiosis
oleh sebab kekurangan cahaya menjadikan suatu peranan pokok dalam kepunahan
massa (yang dibentuk oleh karang dan terumbu karang).
Secara nyata
keadaan yang merugikan dari ketergantungan terhadap cahaya timbul karena
kebutuhan dari simbiosis alamiah. Sejauh diketahui, hanya sedikit sekali
species karang dapat eksis secara fakultatif (karang yang dapat hidup untuk
jangka waktu tak terbatas dengan atau tanpa adanya zooxanthellae atau yang
biasa disebut aposymbiosis), yakni hanya Astrangia danae (Jasques,
1983) dan mungkin Madracis Sp, nampaknya termasuk dalam
kelompok ini. Kemudian memunculkan pertanyaan mengapa terjadi simbiosis
fakultatif pada karang. Hal ini mungkin dapat dterangkan dalam kejadian dua
tahap, yaitu pertama adanya hubungan yang sederhana dengan rantai secara
fisiologis (kemungkinan masih dapat menggantungkan dari nutrisi eksternal),
kedua adanya bentuk simpanan dari dasar genetis tiap jenis karang yang terjadi
dari evolusi multispecies yang sinkron yang kemungkinan paralel dengan evolusi
metochondria dari protozoa.
Dengan demikian
menjadi jelas bahwa konsep simbiosis menjadi demikian penting dalam kehidupan
karang dan kelestarian ekosistem bentukannya. Hubungan intra maupun
ekstraspesifik yang terus berlangsung dalam proses pembentukan kestabilan
ekosistem terumbu karang secara filosofis termasuk dalam konsep microevolusi
yang ditampilkan oleh hubungan simbiosis antara zooxanthellae dan binatang
karang.
Sumber: “Peranan Proses
Simbiosis Zooxanthellae Dan Karang Sebagai Indikator Bagi Evaluasi Kualitas Ekosistem
Terumbu Karang”, Pujiono
Wahyu Purnomo.
No comments:
Post a Comment